Part 3
Helena Trevis sedang membaca berita melalui iPad putih saat ketukan itu terdengar. Seulas senyum langsung mengembang ketika wanita bersetelan hitam dengan rambut panjang tersanggul itu memasuki kamar inapnya.
"Wah, tidak kusangka kau menjenguk nenek tua ini," ucap Helena sembari tersenyum dan meletakkan iPad di meja.
"Maaf, saya terlambat mengetahui keadaan Anda," gumam wanita berpenampilan konservatif itu dengan nada bersalah.
"Tidak ada kata terlambat, Elektra. Aku kelelahan setelah perjalanan panjang dari New York dan Tokyo. Dokter terlalu melebih-lebihkan keadaanku." Helena melihat Elektra meletakkan buket krisan putih di vas yang masih kosong lalu duduk di kursi dengan wajah tertunduk lesu.
"Kenapa kau terlihat lebih buruk dari keadaanku, Elektra?" tanya Helena lalu menginterupsi Elektra yang hendak bersuara. "Kumohon hentikan sikap formal menyebalkanmu itu. Tak siapa selain kita di sini!"
Elektra Hartono menghela napas panjang. Tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya dari wanita yang sudah dianggapnya ibu, sekaligus mentor bisnisnya tersebut.
"Kau bisa berbagi cerita denganku seperti biasa. Setidaknya aku memiliki pengalaman hidup lebih dulu daripadamu. Jadi, aku mungkin bisa memberikan satu atau dua pendapat yang dapat kaujadikan bahan pertimbangan."
Elektra tenggelam dalam pikirannya sebelum akhirnya menghirup napas dalam. "Apakah saya bisa mendiskusikan sesuatu yang bersifat personal?" tanyanya ragu.
Helena mengangguk pelan. Elektra mengeluarkan pertanyaannya dalam satu tarikan napas. "Maaf jika pertanyaan saya lancang tapi... apakah Anda menyesali hidup dengan kesendirian tanpa pernikahan dan anak?"
Wajah Helena yang tadinya tenang dan penuh kesabaran berubah tegang. Rahangnya terkatup rapat dengan mata menyipit. Elektra memejamkan mata, mengendalikan kepanikan yang menyerangnya. Ia menyesal mempertanyakan kehidupan pribadi Helena yang penuh misteri.
"Apakah pertanyaanmu ini berkaitan dengan masalahmu?" Pertanyaan Helena itu menyeret Elektra ke alam fana. Ia mendongak lalu menemukan sosok Helena yang tenang dan sabar.
Elektra mengangguk kecil. "Dokter mendiagnosa saya menderita primary ovarian insuffiency, sejenis menopause dini."
"Bukankah umurmu belum mencapai kepala tiga?"
"Usia saya dua puluh sembilan tahun namun dokter mengatakan penderita POI memang berada di usia kurang dari empat puluh tahun. Penyebab penyakit ini juga belum jelas selain berkaitan dengan genetika," terang Elektra gugup.
"Jadi itu sebabnya kau bertanya apa aku menyesal hidup sendiri tanpa pernikahan dan anak?"
Elektra mengangguk canggung. Helena terdiam lalu memandang jauh ke jendela walau fokusnya tidak di tempat itu. Pikirannya mengembara ke masa lalu yang terkunci rapat dalam kotak pandora hidupnya. "Aku memutuskan tidak menikah bukan karena aku tak ingin. Aku memimpikan keluarga sama seperti wanita lain, membesarkan anak-anak dan hidup bersama suami hingga maut memisahkan. Namun satu-satunya pria yang kuharap mengantarku meraih mimpi itu tiada sebelum waktunya."
Elektra merasa tertampar mendengar ucapan Helena. Dugaannya salah besar! Helena berbeda dengan dirinya yang tergila-gila dengan pekerjaan dan kesuksesan. Persepsi Elektra seolah berubah. Wanita berhati baja dan bertangan besi itu kini menjelma menjadi wanita biasa pada umumnya, menjalani hari-harinya dengan penuh perjuangan dan pengorbanan.
"Apa Anda menyesal?"
Helena menggeleng, senyumannya tidak sampai ke matanya. "Kalau kau bertanya apa aku menyesal tidak membangun keluarga lain, jawabannya tidak. Aku tidak menyesali kesetiaan bodohku. Yang kusesali adalah kenapa aku tidak lebih keras memperjuangkan hubungan kami." Helena terdiam sejenak, mengendalikan pertahanan dirinya yang mulai runtuh. Matanya sudah berkaca-kaca, bahkan suaranya menjadi serak. Untuk menutupi emosi yang meremuk redamkan perasaannya ia mengalihkan topik pembicaraan. "Apakah kau belum pernah jatuh cinta?"
Elektra menjawabnya dengan gelengan kepala pelan, lalu terdiam seperti menggali ingatan terdalamnya sebelum semburat merah memenuhi wajahnya. Helena tertawa. "Berarti kau memang pernah jatuh cinta sebelumnya."
Wajah Elektra semakin memerah. "Elektra, aku selalu menganggapmu cucuku sendiri. Selama ini aku berpikir kau dan bisnismu seperti anak kecil dan mainannya. Fokusmu di satu titik tanpa pernah melihat dunia dari sisi yang berbeda. Sebagai wanita yang tidak pernah menikah dan memiliki anak, aku tidak ingin kau mengalami nasib yang sama denganku. Aku berharap kaupunya keluarga, memiliki anak dan suami yang membuatmu tidak merasa kesepian. Seseorang yang mendampingimu di saat kau bahagia dan sedih, atau sehat dan sakit."
Elektra menangkap makna tersirat dalam ucapan Helena. "Apa kedua keponakan Anda tidak pernah—"
"Bibi, apa maksudmu memasukkan Rafael sebagai kandidat CEO!" seru pria bersetelan hitam yang tiba-tiba menerobos pintu dengan wajah kesal.
****
PART 2 << TABLE OF CONTENTS >> PART 4
Download lengkap cerita ini di googlePLAY
https://play.google.com/store/books/details?id=drJVDwAAQBAJ
https://play.google.com/store/books/details?id=drJVDwAAQBAJ
#cerita #romance #novel #noveldigital #kisahcinta #novelindonesia #bukudigital #bukanbajakan #wattpad #wattpadindonesia #wattpadrekomendasi #story #love #novelmurah #novelmurahindonesia #pernikahan #pertunangan #bunuhdiri #cintasejati #drama #18+ #kisahcintaindonesia #pertunangan #roman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar