PART 2
Emosi Mikael
Trevis belum mendingin, masih panas seperti bara gunung vulkanik yang baru
meletus. Ia mengepalkan tangan, menahan luapan kemarahan yang membuncah walau
kepalanya sibuk mencari cara menggagalkan Rafael menjadi CEO di Sun Semen,
produsen semen dan bahan bangunan yang menjadi induk perusahaan Sun Holding
Group.
Mikael
lalu menyandarkan tubuh ke tempat duduk, menutup mata, menghirup dan membuang
napas pelan. Pasokan oksigen segera memenuhi kapiler darah di kepalanya.
Neuron-neuron yang sudah menerima asupan menjalankan fungsinya. Relaksasi
sederhana ini seringkali berhasil menekan emosinya.
Mikael
menghela napas panjang. Bibinya kerap menghambat karirnya tapi sutradara di
balik layar yang menghancurkannya, bukanlah bibinya, melainkan ayahnya. Ya,
ayah kandungnya walau darah Trevis mengalir dalam nadinya. Sikap ayahnya lebih
kejam dari binatang yang menyayangi darah dagingnya. Mungkin ayahnya
beranggapan putra kandungnya Rafael, sementara dirinya seperti tumor ganas—yang
ingin segera ayahnya singkirkan.
Mikael
mengenang. Hanya dua kali dalam setahun ia menemui ayahnya. Saat ulang tahun
kakek dan bibinya. Sebagai anak kecil, ia sangat menantikan dua momen itu. Melebihi
penantian pesta ulang tahunnya sendiri.
Malangnya, seiring bertambahnya usia, dua momen itu berubah menjadi kutukan mematikan. Serpihan-serpihan ingatan masa kecilnya itu kemudian menyatu, berputar di kepalanya.
Malangnya, seiring bertambahnya usia, dua momen itu berubah menjadi kutukan mematikan. Serpihan-serpihan ingatan masa kecilnya itu kemudian menyatu, berputar di kepalanya.
Anak
lelaki berusia lima atau enam tahunan dengan malu-malu mendekati pria yang
sedang menyandarkan ggungnya ke dinding. Wajahnya tampak bosan dengan tatapan
kosong, seolah tidak bisa membaur dengan lingkungannya.
Bocah
berkostum batman itu lalu terdiam. Ia bingung bagaimana menyapa pria itu. Tidak
tahu bagaimana cara memanggilnya, tidak bisa memutuskan di antara dua pilihan,
Ayah ataukah Papa walau kebanyakan teman-temannya memanggil ayah mereka
panggilan Papa. Namun, beberapa temannya juga memanggil ayah mereka dengan
Daddy atau Tata. Semua pilihan itu membuatnya semakin pening.
“Uhm...,”
gumam anak lelaki sambil menarik-narik celana pria itu agar perhatian ayahnya
tertuju padanya. Benar saja ayahnya terkejut walau sebentar. Ekspresi dingin
itu terlukis di wajah tampan ayahnya.
“Uhm...
terima kasih. Terima kasih Ayah memberiku banyak mainan dan buku buku. Aku
sangat suka memainkan mobil merah dan menggunakan buku bersampul Batman untuk
belajar,” ucapnya, tersenyum bangga.
Mikael
yang polos menyangka ayahnya senang jika ia giat belajar karena ibunya pernah
mengatakan anak baik adalah anak yang suka belajar. Mikael menyimpulkan,
ayahnya pasti memujinya. Jika ayahnya tahu ia menjadi anak baik, ayahnya pasti
segera pulang ke rumahnya, seperti ayah teman-temannya yang tinggal di rumah
bersama ibu mereka.
“Aku
tidak tidak pernah memberimu mainan atau buku,” gumam ayahnya pendek.
Mikael terdiam beberapa saat karena terkejut
tetapi ia tersenyum karena mengingat sesuatu. “Nama... namaku Mikael,” katanya
memperkenalkan diri.
Mikael
kecil menduga ayahnya lupa akan dirinya. Bukankah bibinya sering mengatakan
pertumbuhannya sangat cepat. Bahkan Mikael menjadi anak tertinggi di kelasnya.
“Aku
tahu namamu, Mikael.”
Mikael
kecil tersenyum lebar saat ayahnya memanggil namanya. Ia sangat bahagia,
ayahnya tidak melupakannya. Ayahnya mengenalinya.
“Aku
bisa membaca dan berhitung karena aku belajar buku pemberian Ayah,” ucap Mikael,
memamerkan kemampuannya. Mikael yakin ia cukup pintar di sekolah karena tidak banyak
teman-temannya yang bisa membaca sekaligus berhitung. Bahkan, Bu guru di
sekolah sering memuji kecerdasannya.
“Ayah!”
pekik anak lelaki berkostum superman, setengah berteriak.
Mikael
syok mendengar anak lelaki sepantarannya memanggil ayahnya Ayah. Terlebih saat
anak itu menghampiri ayahnya, seulas senyum langsung terukir di wajah ayahnya.
Ekspresi dingin dan menakutkan itu menghilang, lenyap tak berbekas.
“Siapa
dia, Ayah?” tanya anak kecil itu mendapati wajahnya cukup mirip dengannya.
“Bukan
siapa-siapa,” gumam ayahnya pendek menggenggam tangan anak kecil berkostum
superman itu.
Saat
hendak berbalik pergi, Mikael menarik tangan anak kecil itu sekuat tenaga
hingga bocah malang itu terjungkal. Mikael merasa bersalah saat anak kecil tersebut menangis, meraung-raung
dengan suara memekakkan telinga. Saat ia hendak meminta maaf, Mikael melihat
kilatan dalam wajah ayahnya yang menatapnya tajam.
Ayahnya
marah dan terlihat sangat menakutkan. Mikael mundur beberapa langkah. Ia tidak
pernah mendapati tatapan mengancam dan penuh kebencian seperti
itu. Ayahnya lebih menakutkan daripada monster-monster musuh batman.
Tubuhnya
gemetar, rasa takut merayap tapi Mikael berusaha menguatkan hatinya. Sebagai
lelaki, ia tidak boleh ketakutan. Terlebih, ia tidak boleh mempermalukan
kostum pahlawan yang dipakainya. Ia tidak boleh menjadi anak cengeng!
Mikael
kecil mengepalkan tangan,mengumpulkan sisa-sisa keberanian. “Kau ayahku, aku
tahu kau memberiku mainan buku!” teriak Mikael dengan suara lantang.
“Seingatku, aku mempunyai satu anak dan nama
anak Rafael. Bukan Mikael,” ucapnya dingin lalu menggendong anak kecil yang
menangis histeris tersebut. Ayahnya lalu beranjak pergi dan mengabaikan
dirinya. Tidak memedulikan dirinya.
Mikael
syok tetapi kesedihan jauh mendominasi. Ada nyeri yang menyengat dadanya hingga
tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Mikael kecil lalu mengusap kasar air mata
yang membanjiri kelopak matanya. Rasa rindu, putus asa dan marah karena
terabaikan, membuatnya berteriak kencang, lebih keras. Sangat keras. “Aku anak
ayah! AKU ANAK AYAAH!!!”
Ayahnya terdiam sejenak lalu berbalik. Seulas
senyum mengembang di wajah sendu Mikael. Ia bersuka cita. Akhirnya, ayahnya
mengingatnya.
Malangnya,
harapan itu langsung sirna seperti tunas yang tidak pernah tumbuh musim gugur. Ayahnya menatapnya
tajam dengan suara dingin dan mengintimidasi ia berkata sesuatu yang tidak akan
pernah dilupakan Mikael seumur hidupnya. “Satu
lagi, aku tidak pernah memberimu mainan atau hadiah lain!”
Pernyataan itu bagai kutukan kematian. Sejak hari itu
Mikael tahu ayahnya tidak mengabaikannya tetapi juga sangat membencinya. Mikael
tidak pernah merasakan emosi gelap sepekat ini. Dada Mikael bergemuruh,
napasnya tercekat dan jantungnya berdentam-dentam secara berlebihan. Untuk
pertama kali dalam hidupnya, Mikael mengalami serangan panik.
Yang terakhir Mikael ingat hari itu, ia terbangun
dalam pelukan ibunya yang entah kenapa bercucuran air mata. “Maafkan Ibu, Mikael.
Maafkan Ibu,” gumam ibunya dengan suara bergetar, seolah-olah semuanya ini
adalah kesalahannya, bukan dirinya. Namun dalam hati kecilnya, Mikael tahu jika
semua ini juga bukan kesalahan ibunya, melainkan ayahnya.
Sejak
hari itu Mikael berjanji tidak akan pernah memedulikan ayahnya. Racun yang
sangat mematikan untuknya, juga ibunya. Mikael melihat cinta ibunya pada
ayahnya seperti obsesi yang menyedihkan. Bagaimana mungkin seseorang masih
mencintai orang yang telah menyakitinya setiap ada kesempatan?
Mikael
bersumpah mengambil langkah yang berbeda dengan ibunya. Ia tidak akan
memerlukan ayah kandungnya. Rasa putus asa itu kini menjadi benci sebelum
tumbuh menjadi dendam yang mengakar kuat di hatinya.
“Aku
tidak membiarkan Rafael mendapatkan posisi itu dengan mudah. Tidak ketika aku
masih hidup, akan kubuat ia hancur sebagaimana ayah menghancurkan ibuku,” ucap Mikael
menggeram lalu beranjak pergi.
***
PART 1 << TABLE OF CONTENTS >> PART 3***
Download lengkap cerita ini di googlePLAY
https://play.google.com/store/books/details?id=drJVDwAAQBAJ
#cerita #romance #novel #noveldigital #kisahcinta #novelindonesia #bukudigital #bukanbajakan #wattpad #wattpadindonesia #wattpadrekomendasi #story #love #novelmurah #novelmurahindonesia #pernikahan #pertunangan #bunuhdiri #cintasejati #drama #18+ #kisahcintaindonesia #pertunangan #roman #CEO #billionare #Sexy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar